Powered By Blogger
manis senyummu indah wajahmu seakan aku cinta padamu

tetapi aku mencintaimu lebih dari yang engkau tau

kecantikanmu keanggunanmu rasa ingin ku dekat dirimu

setiap aku jauh darimu rasa rinduku ingin bertemu

Senin, 14 November 2011

PERILAKU MASYARAKAT DALAM PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA DI ERA GLOBAL

Modernisasi

Modernisasi adalah suatu proses transformasi dari suatu perubahan ke arah yang lebih maju atau meningkat di berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa modernisasi adalah proses perubahan dari cara-cara tradisional ke cara-cara baru yang lebih maju dalam rangka untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat. Sebagai suatu bentuk perubahan sosial, modernisasi biasanya merupakan bentuk perubahan sosial yang terarah dan terencana. Perencanaan sosial (social planning) dewasa ini menjadi ciri umum bagi masyarakat atau negara yang sedang mengalami perkembangan. Suatu perencanaan sosial haruslah didasarkan pada pengertian yang mendalam tentang bagaimana suatu kebudayaan dapat berkembang dari taraf yang lebih rendah ke taraf yang lebih maju atau modern. Di Indonesia, bentuk-bentuk modernisasi banyak kita jumpai di berbagai aspek kehidupan masyarakatnya, baik dari segi pertanian, industri, perdagangan, maupun sosial budayanya. Salah satu bentuk modernisasi di bidang pertanian adalah dengan adanya teknik-teknik pengolahan lahan yang baru dengan menggunakan mesin-mesin, pupuk dan obat-obatan, irigasi teknis, varietas-varietas unggulan baru, pemanenan serta penanganannya, dan sebagainya. Semua itu merupakan hasil dari adanya modernisasi. Pada gambar berikut terlihat adanya kemajuan atau modernisasi dalam hal pemanenan hasil pertanian. Pada gambar (a) terlihat bahwa pengolahan hasil panen masih dilakukan secara manual; pada gambar (b) terlihat bahwa petani setempat mulai menggunakan teknologi sederhana dalam pengolahan hasil panennya; dan pada gambar (c) terlihat bahwa proses pemanenan dan pengolahan hasil panen dilakukan dengan menggunakan alat pertanian yang canggih sehingga proses pemanenan dan pengolahannya dapat dilakukan sekaligus.
Berbagai bidang tersebut dapat berkembang melalui serangkaian proses yang panjang sehingga mencapai pola-pola perilaku baru yang berwujud pada kehidupan masyarakat modern. Sayangnya, penggunaan istilah modernisasi banyak disalahartikan sehingga sisi moralnya terlupakan. Banyak orang yang menganggap modernisasi hanya sebatas pada suatu kebebasan yang bersifat keduniawian. Tidak mengherankan juga bila banyak anggota masyarakat yang salah melangkah dalam menyikapi atau memahami tentang konsep modernisasi.
Untuk menghindari kesimpangsiuran pengertian dan kesalahan pemahaman tentang modernisasi, maka secara garis besar istilah modern dapat diartikan berikut ini.
1. Modern berarti kemajuan yang rasional dalam segala bidang dan meningkatnya taraf penghidupan masyarakat secara menyeluruh dan merata.
2. Modern berarti berkemanusiaan dan tinggi nilai peradabannya dalam pergaulan hidup. Agar modernisasi (sebagai suatu proses) tidak mengarah ke angan-angan belaka, maka modernisasi harus mampu memproyeksikan kecenderungan yang ada dalam masyarakat sekarang ke arah waktu-waktu yang akan datang.

Proses modernisasi tidak serta merta terjadi dengan sendirinya. Modernisasi dapat terjadi apabila ada syarat-syarat berikut ini.

1. Cara berpikir yang ilmiah yang melembaga dalam kelas penguasa maupun masyarakat.
2. Sistem administrasi negara yang baik, yang benar-benar mewujudkan birokrasi.
3. Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur.
4. Penciptaan iklim yang menyenangkan dari masyarakat terhadap modernisasi dengan cara penggunaan alat-alat komunikasi massa.
5. Tingkat organisasi yang tinggi, terutama disiplin diri.
6. Sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan perencanaan sosial.

Hal yang harus kalian pahami adalah bahwa modernisasi berbeda dengan westernisasi. Jika modernisasi adalah suatu bentuk proses perubahan dari cara-cara tradisional ke cara-cara yang lebih maju; westernisasi adalah proses peniruan oleh suatu masyarakat atau negara terhadap kebudayaan dari negara-negara Barat yang dianggap lebih baik dari budaya daerahnya. Berdasarkan hal tersebut, pengertian modernisasi lebih baik daripada westernisasi. Akan tetapi, bersamaan dengan proses modernisasi biasanya juga terjadi proses westernisasi, karena perkembangan masyarakat modern itu pada umumnya terjadi di dalam kebudayaan Barat yang tersaji dalam kemasan Barat pula.
B. Globalisasi
Istilah globalisasi berasal dari kata global atau globe (globe = bola dunia; global = mendunia). Berdasarkan akar katanya tersebut, dapat diartikan globalisasi sebagai suatu proses masuk ke lingkungan dunia. Pada era modern ini harus diakui bahwa peradaban manusia telah memasuki tahapan baru, yaitu dengan adanya revolusi komunikasi. Dengan cepat, teknik dan jasa telekomunikasi yang memanfaatkan spektrum frekuensi radio dan satelit ini telah berkembang menjadi jaringan yang sangat luas dan menjadi vital dalam berbagai aspek kehidupan dan keselamatan bangsa-bangsa di dunia. Pemanfaatan jasa satelit tidak semata-mata untuk usaha hiburan, namun berkembang secara meluas dan digunakan dalam teknologi pertelevisian, komunikasi, komputer, analisis cuaca, hingga penggunaan untuk survei sumber daya alam. Contoh paling mudah adanya pengaruh globalisasi adalah adanya siaran langsung televisi antarnegara. Hal-hal yang sedang terjadi di negara lain, misalnya final Piala Dunia di Jerman dapat kita ketahui pada saat yang bersamaan. Dalam hal ini definisi berita yang biasanya diartikan sebagai suatu peristiwa yang telah terjadi berubah menjadi suatu peristiwa yang sedang terjadi. Contoh lain adalah internet. Internet merupakan hasil penggabungan kemajuan teknologi komputer dengan kemajuan teknologi komunikasi yang dianggap sebagai bentuk revolusi di kedua bidang tersebut. Dengan kemampuan pembaruan data yang cepat, internet berkembang sebagai “jendela dunia” yang up to date. Melalui internet, banyak kemudahan yang dapat kalian peroleh tanpa harus berurusan dengan birokrasi antarnegara. Pengiriman surat, data, atau dokumen-dokumen penting ke berbagai penjuru dunia dapat dilakukan dalam hitungan detik.
Bebas, terbuka, langsung, dan tanpa mengenal batas negara merupakan ciri era komunikasi global. Semua kalangan bisa berhubungan dengan jaringan internet, termasuk di dalamnya jaringan-jaringan yang tidak layak atau menyesatkan yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa kita. Kondisi tersebut hanya sebagian kecil contoh globalisasi. Artinya, hubungan antarmanusia tidak lagi dibatasi aturan atau wilayah negaranya saja, namun mulai mengikuti aturan internasional yang berkembang di dunia. Adanya hubungan yang mendunia ini dipengaruhi oleh adanya saluran-saluran pendukung proses globalisasi berikut ini.

1. Saluran pergaulan; adanya kontak kebudayaan dan saling mengunjungi antarwarga negara akan memudahkan seseorang mempelajari dan mengerti kebudayaan asing. Bentuk pertukaran pelajar, home stay, pertukaran misi kebudayaan, penyerapan tenaga kerja asing, dan sebagainya membuat seseorang tidak hanya tinggal di negara lain, tetapi secara sadar atau tidak ia akan menyerap kebiasaan dan pola kehidupan masyarakat setempat.
2. Saluran teknologi; berbagai peralatan teknologi merupakan saluran globalisasi yang membawa pengaruh yang sangat besar. Seperti telah diungkapkan sedikit pada bagian awal, saluran teknologi ternyata memiliki potensi perubahan yang sangat besar bagi masyarakat penggunanya.
3. Saluran ekonomi; produk-produk baru dapat dengan cepat diinformasikan pada konsumen. Hal ini akan mempercepat pola penawaran dan permintaan di pasar. Bahkan, saat ini sistem bisnis melalui multimedia sudah banyak dilaku-kan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia, misalnya dengan cara telemarketing, baik melalui pesawat telepon maupun internet. Kekayaan dan utang suatu negara dapat diketahui dan dibandingkan dengan kondisi di negara lain, sehingga hampir tidak ada rahasia yang dapat tertutup rapat.
4. Saluran media hiburan; produk-produk hiburan seperti film , lagu, dan berbagai jenis produk permainan/games yang beredar dapat memengaruhi mental masyarakat. Sektor ini perlu diwaspadai dalam upaya pembinaan dan perlindungan generasi muda dari degradasi moral.
C. Dampak Modernisasi dan Globalisasi
1. Tanggapan dan Kecenderungan Perilaku Masyarakat terhadap Modernisasi dan Globalisasi
Saat memasuki era milenium ketiga ini, tampaknya arus modernisasi dan globalisasi tidak akan dapat dihindari oleh negara-negara di dunia dalam berbagai aspek kehidupannya. Menolak dan menghindari modernisasi dan globalisasi sama artinya dengan mengucilkan diri dari masyarakat internasional. Kondisi ini tentu akan menyulitkan negara tersebut dalam menjalin hubungan dengan negara lain. Berbagai tanggapan dan kecenderungan perilaku masyarakat dalam menghadapi arus modernisasi dan globalisasi. Secara garis besar dapat dibedakan menjadi sikap positif dan sikap negatif berikut ini.
a. Sikap Positif
Sikap positif menunjukkan bentuk penerimaan masyarakat terhadap arus modernisasi dan globalisasi. Sikap positif mengandung unsur-unsur sebagai berikut.
1) Penerimaan secara terbuka (open minded); sikap ini merupakan langkah pertama dalam upaya menerima pengaruh modernisasi dan globalisasi. Sikap terbuka akan membuat kita lebih dinamis, tidak terbelenggu hal-hal lama yang bersikap kolot, dan akan lebih mudah menerima perubahan dan kemajuan zaman.
2) Mengembangkan sikap antisipatif dan selektif; sikap ini merupakan kelanjutan dari sikap terbuka. Setelah kita dapat membuka diri dari hal-hal baru, langkah selanjutnya adalah kita harus memiliki kepekaan (antisipatif) dalam menilai hal-hal yang akan atau sedang terjadi
kaitannya dengan pengaruh modernisasi dan globalisasi. Sikap antisipatif dapat menunjukkan pengaruh yang timbul akibat adanya arus globalisasi dan modernisasi. Setelah kita mampu menilai pengaruh yang terjadi, maka kita harus mampu memilih (selektif) pengaruh mana yang baik bagi kita dan pengaruh mana yang tidak baik bagi kita.
3) Adaptif, sikap ini merupakan kelanjutan dari sikap antisipatif dan selektif. Sikap adaptif merupakan sikap mampu menyesuaikan diri terhadap hasil perkembangan modernisasi dan globalisasi. Tentu saja penyesuaian diri yang dilakukan bersifat selektif, artinya memiliki pengaruh positif bagi si pelaku.
4) Tidak meninggalkan unsur-unsur budaya asli, seringkali kemajuan zaman mengubah perilaku manusia, mengaburkan kebudayaan yang sudah ada, bahkan menghilangkannya sama sekali. Kondisi ini menyebabkan seseorang/masyarakat kehilangan jati diri mereka, kondisi ini harus dapat dihindari. Semaju apa pun dampak modernisasi yang kita lalui, kita tidak boleh meninggalkan unsur-unsur budaya asli sebagai identitas diri. Jepang merupakan salah satu negara yang modern dan maju, namun tetap mempertahankan identitas diri mereka sebagai masyarakat Jepang.
b . Sikap Negatif
Berbeda dari sikap positif yang menerima terjadinya perubahan akibat dampak modernisasi dan globalisasi, sikap negatif menunjukkan bentuk penolakan masyarakat terhadap arus modernisasi dan globalisasi. Sikap negatif mengandung unsur-unsur berikut ini.
1) Tertutup dan was-was (apatis); sikap ini umumnya dilakukan oleh masyarakat yang telah merasa nyaman dengan kondisi kehidupan masyarakat yang ada, sehingga mereka merasa was-was, curiga, dan menutup diri dari segala pengaruh kemajuan zaman. Sikap seperti ini pernah ditunjukkan oleh negara Cina dengan politik Great Wall-nya. Sikap apatis dan menutup diri ini tentu juga kurang baik, karena sikap ini akan menjauhkan diri dari kemajuan dan perkembangan dunia, kondisi ini akan menyebabkan masyarakat negara lain yang terus tumbuh dan berkembang seiring dengan kemajuan zaman.
2) Acuh tah acuh; sikap ini pada umumnya ditunjukkan oleh masyarakat awam yang kurang memahami arti strategis modernisasi dan globalisasi. Masyarakat awam pada umumnya tidak terlalu repot mengurusi dampak yang akan ditimbulkan oleh modernisasi dan globalisasi. Mereka pada umumnya memercayakan sepenuhnya pada kebijakan pemerintah atau atasan mereka (hanya sebagai pengikut saja). Sikap ini cenderung pasif dan tidak memiliki inisiatif.
3) Kurang selektif dalam menyikapi perubahan modernisasi; sikap ini ditunjukkan dengan menerima setiap bentuk hal-hal baru tanpa adanya seleksi/filter. Kondisi ini akan menempatkan segala bentuk kemajuan zaman sebagai hal yang baik dan benar, padahal tidak semua bentuk kemajuan zaman sesuai dengan budaya masyarakat kita. Jika seseorang atau suatu masyarakat hanya menerima suatu modernisasi tanpa adanya filter atau kurang selektif, maka unsur-unsur budaya asli mereka sedikit demi sedikit akan semakin terkikis oleh arus modernisasi yang mereka ikuti. Akibatnya, masyarakat tersebut akan kehilangan jati diri mereka dan ikut larut dalam arus modernisasi yang kurang terkontrol.
2. Akibat Modernisasi dan Globalisasi terhadap Budaya Indonesia

Suatu kemajuan akan menghasilkan dampak positif dan negatif. Hal ini harus dapat kalian sadari betul agar dapat meminimalkan dampak negatif yang merugikan serta memaksimalkan dampak positif yang menguntungkan.

a . Akibat Positif Globalisasi
1) Semakin dipercayanya kebudayaan Indonesia; dengan adanya internet, kalian bisa mengetahui kebudayaan-kebudayaan bangsa lain, sehingga dapat dibandingkan ragam kebudayaan antarnegara, bahkan dapat terjadi adanya akulturasi budaya yang akan semakin memperkaya kebudayaan bangsa. Dengan memperbandingkan itu pula kalian dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan budaya Indonesia bila dibandingkan dengan kebudayaan bangsa-bangsa lain.
2) Ragam kebudayaan dan kekayaan alam negara Indonesia lebih dikenal dunia; dulu mungkin masyarakat Eropa hanya mengenal Bali sebagai objek wisata di Indonesia. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi, masyarakat Eropa mulai mengenal keindahan alam Danau Toba di Sumatra Utara, panorama Taman Laut Bunaken di Sulawesi Utara, keaslian alam Perairan Raja Ampat di Papua, kelembutan tari Bedoyo Ketawang dari Solo (Jawa Tengah), keanggunan tari Persembahan dari Sumatra Barat, atau kemeriahan tari Perang dari suku Nias di Sumatra Utara.
b . Akibat Negatif Globalisasi
1) Munculnya guncangan kebudayaan (cultural shock); guncangan budaya umumnya dialami oleh golongan tua yang terkejut karena melihat adanya perubahan budaya yang dilakukan oleh para generasi muda. Cultural Shock dapat diartikan sebagai ketidaksesuaian unsur-unsur yang saling berbeda sehingga menghasilkan suatu pola yang tidak serasi fungsinya bagi masyarakat yang bersangkutan. Perubahan unsur-unsur budaya seringkali ditanggapi oleh masyarakat dengan beragam. Bagi masyarakat yang belum siap menerima perubahan-perubahan yang terjadi maka akan timbul goncangan (shock) dalam kehidupan sosial dan
budayanya yang mengakibatkan seorang individu menjadi tertinggal atau frustasi. Kondisi demikian dapat menyebabkan timbulnya suatu keadaan yang tidak seimbang dan tidak serasi dalam kehidupan. Contoh: di era globalisasi ini unsur-unsur budaya asing seperti pola pergaulan hedonis (memuja kemewahan), pola hidup konsumtif sudah menjadi pola pergaulan dan gaya hidup para remaja kita. Bagi individu atau remaja yang tidak siap dan tidak dapat menyesuaikan pada pola pergaulan tersebut, mereka akan menarik diri dari pergaulan atau bahkan ada yang frustasi sehingga menimbulkan tindakan bunuh diri atau perilaku penyimpangan yang lain.
2) Munculnya ketimpangan kebudayaan (cultural lag); kondisi ini terjadi manakala unsur-unsur kebudayaan tidak berkembang secara bersamaan, salah satu unsur kebudayaan berkembang sangat cepat sedangkan unsur lainnya mengalami ketertinggalan. Ketertinggalan yang terlihat mencolok adalah ketertinggalan alam pikiran dibandingkan pesatnya perkembangan teknologi, kondisi ini terutama terjadi pada masyarakat yang sedang berkembang seperti Indonesia. Untuk mengejar ketertinggalan ini diperlukan penerapan sistem dan pola pendidikan yang berdisiplin tinggi. Contoh: Akibat kenaikan harga BBM pemerintah mengkonversi bahan bakar minyak menjadi gas dengan cara mensosialisasikan tabung gas ke masyarakat. Namun berhubung sebagian masyarakat belum siap, terkait dengan kenyamanan dan keamanan penggunaan tabung gas maka masyarakat kebayakan menolak konversi tersebut. Kondisi demikian menunjukkan adanya ketertinggalan budaya (cultural lag) oleh sebagian masyarakat terhadap perubahan budaya dan perkembangan kemajuan teknologi.

from Yeti Ariani

Kamis, 03 November 2011

Biografi Mayjen Sutoyo Siswomiharjo (Pahlawan Revolusi)

Mayjen Sutoyo Siswomiharjo adalah pahlawan revolusi yang difitnah PKI akan membentuk dewan jendral dan mengadakan kudeta militer terhadap kepemimpinan Presiden Soekarno. Fitnah tersebut menjadi alasan PKI menculik dan membunuh beliau. Mayjen Sutoyo lahir di Kebumen 28 Agustus 1922 dan meninggal di Lubang Buaya Jakarta Selatan, kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta Selatan.

Sebelum berkarir di militer, Sutoyo sempat menjadi pegawai negeri di kantor pemerintahan Kabupaten Purworejo pada masa pendudukan Jepang hingga tahun 1944. Setelah itu Sutoyo telibat dan berkarir dalam dunia militer. Karirnya bermula saat ia bergabung dengan TKR setelah proklamasi kemerdekaan.Di TKR beliau masuk dalam kepolisian tentara. Bagian inilah yang selanjutnya menjadi Corps Polisi Militer (CPM).

Sejak awal bergabung hingga RI berdaulat Sutoyo tetap bertugas di CPM. Bulan Juni 1945 beliau diangkat menjadi ajudan Kolonel Gatot Subroto seorang komandan Polisi Tentara. Selanjutnya Sutoyo diangkat sebagai Kepala Bagian Organisasi Resimen II PT di Purworejo, Kepala Staf CPM Yogyakarta dan Komandan SPM Datasemen II Surakarta.

Tahun 1954 Sutoyo diangkat sebagai Kepala Staf Markas Besar CPM, selanjutnya mengemban tugas sebagai Asisten Atase Militer RI di London tahun 1956. Sekembalinya dari Inggris ia langsung mengikuti pendidikan staf dan komando angkatan darat (Seskoad). Rampung pendidikan, diangkat senagai inspektur kehakiman AD tahun 1961 dengan pangkat Brigjen. Tahun 1965 Sutoyo bersama perwira tinggi AD lainnya menolak rencana PKI mempersenjatai buruh dan Tani yang akan dijadikan angkatan Kelima TNI. Akibatnya ia menjadi salah satu target pembunuhan PKI. Tanggal 1 Oktober 1965 Beliau ditemukan sudah meninggal di sebuah sumur tua di daerah Lubang Buaya Jakarta Selatan bersama Ahmad Yani, S.Parman, DI Pandjaitan, Suprapto dan MT Haryono. Untuk mengenang jasanya pemerintah menganugerahi beliau pahlawan Revolusi tahun 1965.

Biografi Letjen Suprapto (Pahlawan Revolusi)

Letjen Suprapto adalah pahlawan revolusi yang menjadi korban pembunuhan G30 S PKI pimpinan DN Aidit dan Kolonel Untung. Beliau lahir di Purwokerto 20 Juni 1920 dan wafat di Lubang Buaya 1 Oktober 1965. Untuk menghargai jasa beliau pemerintah menganugerahi gelar pahlawan Revolusi. Beliau kemudian dimakamkan di taman makam pahlawan kalibata Jakarta.

Pendidikan umum yang berhasil ia tamatkan adalah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yakni pendidikan setingkat SMP dan AMS (Algemne Middelberge School) yaitu pendidikan setingkat SMA. Suprapto pernah mengikuti pendidikan militer Koninklijke Militaire Akademie di Bandung namun tidak tamat karena pendudukan Jepang.

Pada jaman pendudukan Jepang ia pernah mengikuti pendidikan Keibodan (Barisan Pembantu Polisi), Seindendan (Barisan Pemuda) dan Syuisyintai (barisan pelopor). Suprapto kemudian bergabung dengan TKR dan pernah ikut bertempur melawan Inggris dan Belanda di Ambarawa. Suprapto juga pernah diangkat sebagai ajudan dan pengawal panglima besar Soedirman bersama Cokropranolo (mantan Gubernur DKI Jakarta), pernah menjabat kepala staf tentara dan teritorium IV/diponegoro Semarang, Jabatan lainnya adalah Deputy Kepala Staf Angkatan Darat untuk wilayah Sumatera dan berkedudukan di Medan. Tugas utama Suprapto selama di Medan adalah menjaga agar wilayah Sumatera aman dan tidak lagi terjadi pemberontakan seperti PRRI/Permesta. Setelah di Medan, Suprapto ditugaskan sebagai Deputy II Menteri/Panglima Angkatan Darat di Jakarta di bawah komando Letjen Ahmad Yani. Ia juga salah satu perwira TNI yang menolak pembentukan angkatan kelima yang diusulkan PKI sehingga menjadi target pembunuhan PKI bersama Ahmad Yani, MT Haryono, DI Pandjaitan,Sutoyo Siswo Miharjo dan S.Parman.

Biografi Letjen S Parman (Pahlawan Revolusi)

Letjen S.Parman adalah perwira TNI AD yang menjadi korban penculikan G30S PKI tanggal 1 Oktober 1965. Beliau lahir di Wonosobo 4 Agustus 1918 dan wafat di Lubang Buaya Jakarta Selatan 1 Oktober 1965, dimakamkan di TMP Kalibata Jakarta. S. Parman adalah perwira TNI AD yang berlatar belakang pendidikan polisi militer dan inteljen. Namun andaikan Jepang tidak mengambilalih kekuasaan atas Belanda S.Parman mungkin sudah berprofesi sebagai dokter, sebab pada saat pendudukan Jepang beliau masih tercatat sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran.

Pada masa pendudukan Jepang, S. Parman bekerja di jawatan Kenpeitai, sebuah jawatan dinas rahasia Jepang. Ia sempat dikirim ke Jepang untuk mengikuti pendidikan di Kenpei Kaysa Botai. Sekembalinya ke Indonesia, ia tetpa bekerja di Jawatan Kenpeitai.

Tahun 1951 S. Parman juga pernah dikirim ke Amerika Serikat mengikuti pendidikan Military Police School. Setelah Indonesia merdeka, S.Parman bergabung ke TKR dan diangkat menjadi kepala staff markas besar Polisi Tentara di Yogyakarta. S.Parman juga ikut bergerilya melawan penjajah saat terjadi agresi militer I dan II.

Pada saat menjabat sebagai Kepala Staff Gubernur Militer Jakarta Raya, S Parman berhasil membongkar gerakan rahasia yang akan dilakukan oleh Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). APRA diketahuia akan membuat kekacauan di Jakarta.

Saat menjabat Asisten I Men/Pangad di bawah Jendral Ahmad Yani S. Parman berpangkat Mayotr Jenderal. Ia adalah salah satu perwira yang menolak keras pembentukan angkatan kelima yang akan dibentuk PKI. Akibatnya ia difitnah sebagai anggota dewan Jendral yang akan melakukan kudeta militer, sehingga menjadi alasan PKI untuk menculik dan membunuhnya. S Parman diculik dan dibunuh bersama jendral Ahmad Yani, MT Haryono, DI Pandjaitan,Sutoyo Siswo Miharjo dan Suprapto.

Pierre Tendean



Pierre Tendean
Kapten Anumerta Pierre Andreas Tendean (lahir di Jakarta, 21 Februari 1939 – meninggal di Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 26 tahun) adalah salah seorang korban pada peristiwa Gerakan 30 September dan merupakan pahlawan nasional Indonesia.
Beliau adalah ajudan dari Jenderal Besar DR. Abdul Harris Nasution (Menko Hankam/Kepala Staf ABRI) pada era Soekarno. Abdul Harris Nasution lolos dari peristiwa penculikan tetapi anaknya, Ade Irma Suryani Nasution tewas tertembus peluru. Pierre Tendean sendiri ditangkap oleh segerombolan penculik dan dibunuh di Lubang Buaya. Ia diculik karena dikira adalah Jenderal Besar DR. A.H. Nasution.
Beliau dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Saat ini sedang direncanakan tentang pembuatan film mengenai Pierre Tendean dengan judul Pierre.

Mas Tirtodarmo Harjono



MT Haryono
Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 24 Januari 1924 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 41 tahun) adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia yang terbunuh pada persitiwa G30S PKI. Ia dimakamkan di TMP Kalibata - Jakarta.
Letjen Anumerta M.T. Haryono kelahiran Surabaya, 20 Januari 1924, ini sebelumnya memperoleh pendidikan di ELS (setingkat Sekolah Dasar) kemudian diteruskan ke HBS (setingkat Sekolah Menengah Umum). Setamat dari HBS, ia sempat masuk Ika Dai Gakko (Sekolah Kedokteran masa pendudukan Jepang) di Jakarta, namun tidak sampai tamat.
Ketika kemerdekaan RI diproklamirkan, ia yang sedang berada di Jakarta segera bergabung dengan pemuda lain untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan itu sekaligus dilanjutkannya dengan masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Awal pengangkatannya, ia memperoleh pangkat Mayor.
Selama terjadinya perang mempertahankan kemerdekaan yakni antara tahun 1945 sampai tahun 1950, ia sering dipindahtugaskan. Pertama-tama ia ditempatkan di Kantor Penghubung, kemudian sebagai Sekretaris Delegasi RI dalam perundingan dengan Inggris dan Belanda. Suatu kali ia juga pernah ditempatkan sebagai Sekretaris Dewan Pertahanan Negara dan di lain waktu sebagai Wakil Tetap pada Kementerian Pertahanan Urusan Gencatan Senjata. Dan ketika diselenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB), ia merupakan Sekretaris Delegasi Militer Indonesia.

D.I. Pandjaitan



DI Panjaitan
Mayor Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan (lahir di Balige, Sumatera Utara, 19 Juni 1925 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 40 tahun) adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia. Ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta
Panjaitan lahir di Balige, Tapanuli, 9 Juni 1925. Pendidikan formal diawali dari Sekolah Dasar, kemudian masuk Sekolah Menengah Pertama, dan terakhir di Sekolah Menengah Atas. Ketika ia tamat Sekolah Menengah Atas, Indonesia sedang dalam pendudukan Jepang. Sehingga ketika masuk menjadi anggota militer ia harus mengikuti latihan Gyugun. Selesai latihan, ia ditugaskan sebagai anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau hingga Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
Ketika Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia bersama para pemuda lainnya membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi TNI. Di TKR, ia pertama kali ditugaskan menjadi komandan batalyon, kemudian menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948. Seterusnya menjadi Kepala Staf Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatera. Dan ketika Pasukan Belanda melakukan Agresi Militernya yang Ke II, ia diangkat menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Seiring dengan berakhirnya Agresi Militer Belanda ke II, Indonesia pun memperoleh pengakuan kedaulatan. Panjaitan sendiri kemudian diangkat menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan. Selanjutnya dipindahkan lagi ke Palembang menjadi Kepala Staf T & T II/Sriwijaya.
Setelah mengikuti kursus Militer Atase (Milat) tahun 1956, ia ditugaskan sebagai Atase Militer RI di Bonn, Jerman Barat. Ketika masa tugasnya telah berakhir sebagai Atase Militer, ia pun pulang ke Indonesia. Namun tidak lama setelah itu yakni pada tahun 1962, perwira yang pernah menimba ilmu pada Associated Command and General Staff College, Amerika Serikat ini, ditunjuk menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Jabatan inilah terakhir yang diembannya saat peristiwa G 30/S PKI terjadi.
Ketika menjabat Asisten IV Men/Pangad, ia mencatat prestasi tersendiri atas keberhasilannya membongkar rahasia pengiriman senjata dari Republik Rakyat Cina (RRC) untuk PKI. Dari situ diketahui bahwa senjata-senjata tersebut dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan yang akan dipakai dalam pembangunan gedung Conefo (Conference of the New Emerging Forces). Senjata-senjata itu diperlukan PKI yang sedang giatnya mengadakan persiapan melancarkan pemberontakan.

Ahmad Yani


Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani (juga dieja Achmad Yani; lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 19 Juni 1922 – wafat di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 43 tahun) adalah seorang pahlawan revolusi dan nasional Indonesia.
Beliau dikenal sebagai seorang tentara yang selalu berseberangan dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Ketika menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat sejak tahun 1962, ia menolak keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani. Karena itulah beliau menjadi salah satu target PKI yang akan diculik dan dibunuh di antara tujuh petinggi TNI AD melalui G30S (Gerakan Tiga Puluh September). Ia ditembak di depan kamar tidurnya pada subuh 1 Oktober 1965. Mayatnya kemudian ditemukan di Lubang Buaya.[1]
Jabatan terakhir sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat(Men/Pangad) sejak tahun 1962.
Beliau dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Pendidikan
* HIS (setingkat SD) Bogor, tamat tahun 1935
* MULO (setingkat SMP) kelas B Afd. Bogor, tamat tahun 1938
* AMS (setingkat SMU) bagian B Afd. Jakarta, berhenti tahun 1940
* Pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang
* Pendidikan Heiho di Magelang
* PETA (Tentara Pembela Tanah Air) di Bogor
* Command and General Staff College di Fort Leaven Worth, Kansas, USA, tahun 1955
* Special Warfare Course di Inggris, tahun 1956
[sunting] Bintang Kehormatan
* Bintang RI Kelas II
* Bintang Sakti
* Bintang Gerilya
* Bintang Sewindu Kemerdekaan I dan II
* Satyalancana Kesetyaan VII, XVI
* Satyalancana G: O.M. I dan VI
* Satyalancana Sapta Marga (PRRI)
* Satyalancana Irian Barat (Trikora)
* Ordenon Narodne Armije II Reda Yugoslavia (1958) dan lain-lain